Penahku Bercerita….

Matahari mulai ditelan malam, Rian seperti biasanya duduk dibale – bale menggoreskan penahnya diatas kertas sambil memandangi fajar yang hampir usai tenggelam diujung bumi.
Aku mencoba membawah kehidupanku ini merorong malam,kepahitan hidup meyeliputi seluru kehidupanku, aku adalah  hidup yang mencoba melewati batas yang orang-orang lintasi, hidupku sangat memprihatikan jika diceritakan kembali, sebuah kisah yang pernah terukir dalam dalam nadiku, memberikan kami kekuatan untuk bertahan sampai menggapai sebuah mimpi.
Terkadang aku merasa bahwa hidup ini tak adil buatku, kadang aku merasa bahwa hidup ini hanya milik sebagian orang, melihat sekelilingku yang hidup tanpa sebuah tekanan, bebas layaknya burung – burung di udara yang terbang kian kemari menikmati jagatraya serta luasnya samudera ini.
Namun aku mensyukuri segala keterbatasan ini, menikmati dalam segala air mata, kehidupan ini kadang membuaku menyerah, kadang membuatku ingin teriak sekencang- kencangnya, agar bumi ini terbangun memperhatikanku,.
Dari kecil aku hidup dalam rumah yang sederhana, penuh dengan segala keterbatasan, keinginnaku terkendala dengan keterbatasan orang tuaku,saat aku tertawan dalam kebahagiaan kadang aku merasakan apakah yang kurasa ini adalah kebahagiaan yang sebenarnya,? Yang juga dirasakan orang yang berlebihan diluar sana.?
Ya, kataku mungkin iya,,,namun dari kebahagiaan ini aku merasakan dan mengerti bahwa dari kesederhanaan juga bisa melahirkan suatu kebahagiaan, kebahagiaan tidak sekedar memiliki segalahnya, namun mensyukuri segala yang kita miliki. Bagiku keluarga adalah kebahagiaan.
Aku dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana, ibuku adalah seorang yang sangat kuat, tidak mudah menyarah bahkan ia mempertaruhkan segala hidup untuk mempertahankan kehidupannya, berjalan dalam kejamnya lingkungan itu tidaklah mudah, kerja keras itu tidaklah cukup untuk bertahan dalam lingkaran yang dikuasai oleh orang – orang seraka, bertahun – tahun ibu berjuang dan selalu berharap semoga dikemudian hari mendapatkan anugerah dari Tuhan untuk mendapatkan hidup yang sepantasnya dimiliki oleh setiap manusia.
Disebuah rumah yang sederhana yang berada di tengah – tengah sebuah kebun milik pusaka nenek moyang, yang mungkin ukurannya kira – kira empat  meter panjangnya dan tiga meter lebarnya, yang beratapkan seng karatan, dan berdinding papan yang hampir sebagiannya sudah termakan rayap, maklum rumah yang sudah tua, ibu dan seseorang wanita yang sudah tua yang tidak lain adalah ibu dari ibuku tinggal untuk melepaskan lelah jika matahari sudah terbenam, tampat meraka untuk berdoa dan mengucap syukur kepada Sang Penciptanya.
Hari terus berganti mengantikan minggu dan minggupun terus mengantikan bulan, bulan pun tak mau menghentikan langkahnya terus menggantikan tahun, semuanya tidak mampu menahan sedetik pun waktu, begitupula kehidupan mereka berguling terombak ambing sangat memprihatinkan bahkan jiwa didalam raga yang hampir rapuh itu tak tertahankan tekanan dan tanggungjawab yang ia emban , hidup sebagai seorang ibu yang yang memiliki keterbatasan, dua buah tangan, sebuah kaki yang tidak sempurna, mampu memberikan kehangatan kepada anaknya, sebuah raga yang tak sempurna bersemanyan jiwa yang merindukan kebahagiaan bisa menghampiri genarasinya di suatu waktu yang Tuhan telah tetapkan.
Terkadang dalam hatiku selalu muncul pertanyaan “ Tuhan kenapa kehidupan meraka terjadi seperti ini ? , mengapa meraka memikul beban yang berat sementara meraka untuk berdiri saja meraka tidak mampu ?”, aku  merasa bahwa hidup itu memang milik sebagian orang saja. Emmmm... tapi aku pikir ini pikiran koyolku saja yang tidak akan dapat dijawab ataupun dibuktikan oleh siapapun didunia ini.
Tetapi apapun keadaan yang mereka cicipi, kenyataannya adalah bahwa aku berhasil menyandang sebuah nama dari kehidupan pahit mereka, aku adalah pribadi yang berusaha mendayung perahu ini kearah yang mereka inginkan. Terimakasih telah bertahan walaupun terhimpit oleh lingkugan yang serakah ini, terimaksih telah berdiri walaupun lutut yang rapuh itu hampir roboh, terimakisih telah menjaganya sebagai sorang ibu ,melindunginya sebagai seorang ayah, memberikan kehangatan  serta kasih sayang yang layak didapatkan oleh seorang anak dari ibu dan ayahnya.
Tapi sayangnya, ucapan terima kasihku ini kau belum sempat mendengarkannya, bahkan tangisan pertamaku pun ketika melihat kejamnya kehidupan ini kau belum mendengarkannya, sebelum kau kembali, aku sangat berharap dan merindukan  kita bisa bertemu dalam sebuah mimpi dan kan ku ucapkan sekali lagi, terimakasih telah menjadi ibu dan ayah yang setia kepada ibuku.    
 Tak terasa goresan penahnya memenuhi lembaran kosong yang ada didepannya. Hanya penah dan kertaslah tempat untuk menceritakan isi hatinya.

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Minggu Pertama Modul 1.1 Program Pendidikan Calon Guru Penggerak

Ilmu Matematika

The shape of the root and its operation(Bentuk akar dan Operasinya )